Bahagia ke Bahagia
Kebahagiaan, kupu-kupu
dengan sayap jingga muda,
kunang-kunang seperti
merah lampu di jalan raya.
Jangan malu ke sini.
Baliklah berkali-kali.
Masuklah. Aku menunggu
kau dengan mata merah jambu.
Masuklah. Aku menunggu.
Jiwaku patah tanpa renyah bibirmu.
Sebuah piano kesepian di sini.
Ia sepi tanpa geletik jemarimu.
Kau adalah ibu baginya,
kandung yang berpisah lama.
Datanglah walau sedetik,
hai kembang anggrek putih.
Layang di atas langit
menyerupai wajah ovalmu.
Iya. Masuklah lebih jauh.
Terbangkan
aku ke dalam dirimu.
Janjiku erat untukmu kuikat
sampai ke hutan kukabarkan.
Janjiku telah tumbuh dalam aku
bagaikan tulang rusuk yang lama tak bersua.
Kau yang tak akan terhempas,
Kau yang tak mungkin terlepas,
kecuali bahagia ke bahagia!
Ya, bahagia, dan aku gali sedalam-
dalamnya bahagia hanya untukmu.
Pamulang, 2015
Aku Hendak Membicarakan Tentang Dirimu
Adalah kau,
masa depan yang
tidak mungkin siap
kuhapal dalam sepiku.
Aku harus menunduk.
Kemudian menghitung rupa
kecewaku, yang terus
mendidih dalam nadi.
Hanya kepadamu,
seorang yang entah
pada masalalu,
kupercaya penuh diriku.
Tertanam kau begitu dalam
di lubuk kesuyian dan lalu
hilang dalam ribuan cahaya.
Malam ini, untuk
sementara, kubayangkan
wajahmu yang putih, serta
matamu yang berkilau
datang dan hilang. Saat
hendak ingin mendekapmu,
kau hanya bayang, kemelut
dalam otakku yang
membekukan namamu.
Aku sendiri,
masih menghitung butir
hujan dari minggu lalu,
yang masih menghujam hatiku.
Pamulang, 2016
Sepasang Mata Ibu
Pada hari yang kemarin,
hanya matamu yang terang.
Mengintip ke seluruh tubuhku,
yang liuk dengan perjalanan.
Kucoba tutup seluruh gelisahku, Ibu.
Wujudmu yang temaran menjadi obat.
Doa panjang yang tak ada akhir,
dan kuyakin kepadaku akan selalu sampai.
Kau adalah suluh dalam gelap ini, Ibu.
Ranjang yang tak pernah akan kutinggal.
Walau berjauh kita merelakan rindu,
hanya doamu akan membawaku pulang.
Jakarta, 2015
Suerune Kalee[1]
Kaulah suara yang paling merdu
Rindu yang tak dapat kutahan getarnya
Kaupun yang membuatku betah tak beranjak
Sajak yang membuatku di sini ingin terus tegak
Hai, kau, liuk di ujung tak terbatas
Dihadapanmu aku ingin terus menepuk dada hingga sesak
Jika kau berhenti, padamkan aku dengan tenang
Bawa aku ke jauh langit melayang terbang
Kaulah suara yang paling merdu
Peninggalan zaman yang masih ingin tetap kukenang.
Jakarta, 2015
[1] Alat musik tiup di Aceh
*Serambi Indonesia Edisi 24 Januari 2016
Yang Coba Merelakan
Kursi
Telah diam ia di situ,
sebalas hari ditempa
terik tanpa basah hujan.
Orang datang dan duduk
bergantian di busa hitamnya,
sekedar menguatkan satu sama lain:
ada yang pergi tiba-tiba.
Meja
Taplaknya selalu bersih.
Panas kemarau siang masih
belum hilang aromanya.
Kekinian yang tak bisa dihitung:
walau pun pada hakikatnya
akan hilang.
Gelas
Rengkuhlah aku agar
kemungkinan-kemungkinan
yang kerap hampir dalam
kepalamu padam, dan gegas
ia ke jauh pikiran hilang.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.